Dalam rentetan kontroversi yang melibatkan Tate Reeves, gubernur Mississippi, sorotan publik tertuju pada sejumlah keputusan kontroversialnya selama masa pandemi. Gubernur ini, yang menjadi bahan perbincangan hangat, menerima kritik tajam atas penanganan pandemi COVID-19 di negara bagian tersebut, dan bahkan dijuluki sebagai Gubernur Terbodoh oleh sebagian kalangan.

Pada permulaan bulan Maret tahun 2020, di tengah memanasnya pandemi virus corona di Mississippi, Tate Reeves mencuri perhatian publik. Ia memutuskan untuk membawa keluarganya dalam sebuah perjalanan ke Paris dan Barcelona, sebuah langkah kontroversial yang terjadi tepat sebelum Presiden Donald Trump mengumumkan larangan perjalanan ke Eropa.
Menggelitiknya kejadian terletak pada kenyataan bahwa, hanya dalam rentang dua hari pasca-perjalanannya itu, Reeves tiba-tiba mengumumkan “keadaan darurat” di Mississippi. Lebih menarik lagi, sekitar 10 hari berikutnya, gubernur ini merilis perintah eksekutif yang mendesak warganya untuk menghindari kontak sosial, membatasi aneka pertemuan, dan memberlakukan sejumlah pembatasan pada rumah makan, bar, juga layanan kesehatan.
Namun, muncul paradoks dalam esensi perintah yang diumumkan. Meskipun ditujukan untuk mengenakan pembatasan baru, peraturan tersebut malah menciptakan kekacauan dengan menyatakan bahwa selama masa krisis, aturan yang lebih ketat dari peraturan negara bagian akan ditangguhkan. Situasi ini menciptakan kebingungan di kalangan warga dan pemerintah lokal, menyebabkan ketidakjelasan dalam panduan pelaksanaan kebijakan yang berlaku.
Mencoba menjelaskan situasi, Reeves merujuk pada konsep lockdown individual sebagai opsi alternatif daripada memutuskan lockdown secara menyeluruh di seluruh negara bagian. Namun, pernyataannya tidak mendapat dukungan dari kalangan ahli, yang kemudian menimbulkan keraguan terkait kebijakan dan sejauh mana keseriusannya dalam mengatasi pandemi Covid 19.
Dalam pandangan Walikota Tupelo, Jason Shelton, langkah-langkah yang diambil oleh gubernur ini seperti menciptakan kebingungan dan menggelorakan kepanikan di seluruh negeri bagian. Pemimpin-pemimpin lokal merasa terdorong untuk menjelaskan kepada warganya mengenai kebijakan yang sebenarnya berlaku, seolah-olah mereka menjadi penafsir resmi dalam pertunjukan drama kebijakan yang membingungkan ini. Meskipun pernyataan yang tidak jelas dari Reeves, batasan jam malam, larangan untuk restoran, dan perintah tinggal di rumah tetap menjadi kenyataan, dan pemimpin lokal harus memastikan bahwa masyarakat menerima informasi yang akurat dalam teater kebijakan yang penuh kekacauan ini.
Dengan upaya meredakan kekhawatiran warganya, Reeves menyatakan dengan tegas, “Mississippi takkan pernah menjadi Tiongkok. Mississippi takkan pernah menjadi Korea Utara.” Tetapi, dalam pernyataan tersebut, terlihat bahwa kebijakan yang bertentangan dan kurang konsisten telah menciptakan kekacauan dan kebingungan yang sulit disembunyikan.
Pertanyaan serius tentang kompetensi dan kepemimpinan gubernur muncul akibat situasi ini, yang melibatkan penanganan krisis kesehatan masyarakat. Kritik terhadap keputusan-keputusan yang terkesan kurang bijak dari ‘Gubernur Terbodoh‘ semakin merumitkan panorama di Mississippi selama pandemi, di mana kejelasan hilang dan kepercayaan publik tersentak.
Mengevaluasi langkah seorang pemimpin wilayah saat terjadi krisis bukanlah tugas yang mudah. Meskipun demikian, memberikan penilaian yang obyektif sangat penting agar terhindar dari kesalahan yang tidak perlu. Diperlukan kritik yang konstruktif dan evaluasi mendalam untuk merancang kembali langkah-langkah yang diperlukan dalam menghadapi situasi serupa di masa yang akan datang. Keterbukaan, konsistensi, dan komunikasi yang terang benderang akan menjadi kunci untuk merespons krisis dengan efektif, memastikan bahwa perlindungan dan keamanan masyarakat menjadi prioritas utama yang terjaga.
Sumber : thebulwark.com